Ruang tengah rumah panggung mulai penuh dengan lingkaran kecil 8 orang perempuan. Beberapa bocah yang penasaran berdiri mengikuti lingkaran.
Dua buah blender, sebuah baskom besar, tapisan dan baskom yang lebih kecil terletak di hadapan mereka. Di dalam baskom besar berisi potongan tipis pisang Kepok (Musa x paradisiaca).
“Mama, nanti kalau saya sudah cok kabel ini, mama tolong tahan penutupnya,” kata Naomi. Naomi adalah fasilitator Bentara Papua yang mengajarkan cara membuat tepung dari bahan dasar pisang. Seketika semua hening, memusatkan perhatian pada putaran blender.
Desing suara blender mulai terdengar, potongan pisang yang tipis dan kering perlahan-lahan hancur. Berubah menjadi butiran halus berwarna putih.
Sesudah itu, bubuk tepung dipindah ke tapisan yang di bawahnya telah disediakan baskom kecil. Tapisan digerakan dua orang mama yang lain. Bubuk putih halus kini memenuhi baskom kecil. Tepung pisang kini tinggal dioseng (dipanaskan di dalam wajan tanpa minyak-red) lantas dikemas.
Sore itu, Naomi tidak sendiri. Dia ditemani oleh mama Yosefina Sreklefat. Mama Yosefina atau yang sehari-hari lebih dikenal dengan Mama Arki adalah warga kampung yang sudah terampil membuat tepung berbahan dasar sagu.
Mama Yosefina berasal dari kampung Kwowok, kemudian menikah dengan Bapa Arki Kladit, tokoh adat yang menetap di kampung Sira. Latar belakang seperti ini membuat Mama Arki berkeinginan agar ketrampilan membuat tepung dari bahan yang tersedia di sekitar bisa dipelajari oleh perempuan-perempuan sekampung.
“Kalau bikin tepung (dari) sagu, sudah beberapa kali saya kasi belajar mama-mama di sini, tapi untuk tepung pisang baru kali ini. Saya juga baru belajar.’ Mama Arki menambahkan.
***
Di kampung Kwowok, Sira dan Manggroholo, pohon pisang sudah lama ditanam warga kampung, baik sebagai tanaman pekarangan maupun tanaman kebun.
Dari pemetaan potensi tanaman pisang yang dilakukan Bentara Papua di bulan September 2022, terdata jika di Kwowok, terdapat sekurangnya terdapat 5 jenis pisang: Dewaga, Dewaga Abu-abu, Raja, Kepok, dan Pisang Tali (Ojo Tali). Diperkirakan jumlahnya mencapai 2.618 batang pohon.
Selama ini warga kampung di Kwowok hanya memanfaatkanya sebagai sumber panganan sehari-hari. Jika hasil panen berlebih, hasilnya dijual ke kabupaten yang waktu tempuh 45 menit dengan kendaraan roda empat. Pisang kepok di pasar Teminabuan rata-rata dijual seharga Rp. 10.000/sisir. Satu tandan yang besar bisa berisi lebih dari sepuluh sisir. Sekali ke sana, harus membayar Rp.40.000/orang, menyesuaikan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Sejauh ini, Bentara Papua bersama pengurus LPHD baru mencoba agar pisang dapat menjadi berkembang sebagai salah satu alternatif livelihood. Terhitung sejak bulan April tahun ini, Bentara Papua stasiun Sira menginiasinya.
Praktik diversifikasi sumber pangan ini sebelumnya cukup berhasil dikerjakan mama-mama di Kampung Solol, Kabupaten Raja Ampat. Diharapkan pembelajaran dari Solol boleh membantu mama-mama di tiga kampung yang memiliki akar sosio-historis yang sama ini.
Sebagaimana telah lama diketahui, Manggroholo dan Sira adalah dua kampung yang memiliki ijin pengelolaan hutan desa. Keduanya juga merupakan pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) pertama di Papua Barat dan Papua.
Sejak mendapatkan izin Kementrian LHK di tahun sejak tahun 2014, pengurus Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) telah menyusun rencana usaha. Salah satunya mengembangkan komoditas eksisting dengan melibatkan kaum perempuan sebagai subyek utamanya. Dengan fasilitasi Bentara Papua, mereka mengikuti pelatihan pembuatan hingga pengemasan tepung pisang. Hasilnya dipasarkan lewat koperasi KNA Mandiri di Kampung Sira.
Usaha pemanfaatan pisang diharapkan dapat memberi kontirbusi positif terhadap praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Bersamaan dengan aksi ini, usaha bersama untuk ketahanan pangan dan sumber penghasilan warga kampung bisa terjadi dalam proses yang berkesinambungan.
***
“Untuk membuat tepung pisang, kitong tra perlu menghabiskan waktu yang lama. Kitong cuma perlu mengupas pisang. Setelah itu, campur dengan garam sedikit supaya mengurangi getahnya. Jika cuacanya cerah, menjemurnya cukup sehari atau dua hari,” terang kaka Yokbet Yajan. Yokbet adalah salah satu yang mengikuti pelatihan.
Pekerjaan terakhir yang dilakukan adalah menghancurkan potongan pisang yang sudah kering itu menjadi bubuk tepuk, dengan blender atau ditumbuk di lesung.
“Jadi, mama, kalau sudah seperti ini (bubuk-red), kitong tinggal panaskan tepung dengan mengoseng saja. Ini supaya tepungnya bisa lebih tahan lama,” ujar Naomi. Karena hari menuju senja, para peserta kemudian berpindah ke kantor kampung yang terletak di seberang. Rasa penasaran mengikuti mama-mama ini. Seperti apa hasilnya?
Seorang adik perempuan menyalakan kompor Hooks. Bubuk putih terus dipanaskan sembari dibolak-balik pelan-pelan di dalam wajan dengan nyala api berukuran sedang. Sekitar 5 menit, wajan kemudian diturunkan.
“Tepungnya sudah jadi. Kitong tunggu dingin baru dimasukan kedalam kemasan plastik. Di kemasan ini, sudah tertulis kalau tepung pisang dibuat oleh mama-mama dari Kampung Kwowok,” pungkas Naomi.
Sore itu, pelatihan sederhana yang melibatkan 8 perempuan dari kampung Kwowok diakhiri. Ditemani gorengan pisang dengan balutan tepung yang baru dibuat bersama seteko penuh kopi.
Dari pelatihan ini, sekurang-kurangnya ketika hari raya Natal tiba, para perempuan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya besar demi membeli tepung terigu. Mereka hanya perlu menyiapkan pisang Kepok.