Ketika berjalan di landscape yang masih hijau, tentu kita akan merasa fresh dan tidak berpangling karena mata kita dimanjakan dengan alam (hutan) yang hijau. Namun, sempat kah kita berpikir apakah tanaman ini bermanfaat atau tidak? apakah tanaman ini liar atau tanaman hias? dan beranekaragam pertanyaan yang muncul di benak kita. Alam adalah buku yang terbuka bagi siapa pun yang ingin membacanya.
Belajar dari alam.! Kebiasaan memanfaatkan tanaman sebagai obat atau ramuan tradisional sudah berlangsung sejak dulu kala, hingga kini di zaman modern masih kita temui sebagian masyarakat yang menggunakan obat tradisional dalam pengobatan. Ya, bagi masyarakat adat tentu hutan adalah segalanya. Hutan adalah ibu, hutan adalah apotik hidup. Segala flora dan fauna yang ada dalam hutan dipercayai memiliki tujuan dan fungsi untuk hidup berdampingan dengan manusia. Premna merupakan salah satu genus tumbuhan berbunga dalam keluarga Lamiaceae yang memiliki berbagai spesies. Genus ini tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis di Afrika, Asia Selatan, Australia utara, dan berbagai pulau di Samudera Pasifik dan Hindia. Umumnya di Indonesia tanaman satu ini dikenal dalam sebutan Bebuas.
Jika dipersempit, Bebuas dalam nama local yang diberikan oleh Masyarakat Adat Knasaimos dalam bahasa Tehit disebut Yorban. Tanaman Premna atau Yorban sering digunakan untuk pengobatan tradisional, terutama untuk mengobati peradangan, penyakit terkait kekebalan tubuh, gangguan perut, penyembuhan luka luar, serta penyakit kulit. “Kitong (kita) disini masih punya hutan yang dijadikan lab untuk belajar bagi siapa saja”, kata Tono Agustinus Woloin (Tono “Bapak” sebutan dalam bahasa Tehit) membuka percakapan bersama Tim Bentara Papua terkait tanaman obat.
(Proses Dokumentasi tanaman obat bersama Bapak Agustinus Woloin)
Cuaca hari itu begitu panas, kami memutuskan untuk berbincang-bincang diluar rumah bersama Tono Woloin begitulah sapaan akrab kami kepada beliau. Sembari mencari tempat yang sedikit sejuk, akhirnya kami memilih duduk di teras depan Koperasi Kna Mandiri, di Kampung Sira Distrik Saifi Kabupaten Sorong Selatan. Tono Woloin, lelaki paruh baya yang memiliki ingatan yang baik serta kaya akan pengetahuan local. Kita dapat dengan bangga menyebutnya sebagai asset hidup yang dimiliki Suku Tehit secara khusus masyaraktat adat Sub Suku Knasasimos.
Di area perkampung Sira dan Mangroholo, banyak tanaman yang dijadikan obat oleh masyarakat setempat seperti tanaman Bebuas. “Kami menyebutnya Yorban, tidak tau de (yorban) nama bahasa Indonesia apa,", sebut Tono Woloin. Menurut lelaki yang berasal dari Kampung Mlaswat, tanaman satu ini masih digunakan sebagai obat untuk penyembuhan luka bisul. Jika terdapat luka bisul pada bagian tubuh yang belum menggeluarkan air nanah maka dapat menggunakan daun Yorban. Cara penggunaanya pun sederhana, cukup dipanaskan di api lalu tempelkan pada luka bisul. “Kalau sudah tempelkan begitu nanti nanah cepat keluar”, tegasnya. Cara yang sama juga dapat diterapkan pada suhu badan yang tidak stabil (demam).
Tanaman yang mencapai tinggi sekira 7-9meter ini, tidak hanya menggunakan daun sebagai obat akan tetapi juga digunakan sebagai aroma penyedap makanan. Daun yang berbentuk bulat telur serta pangkal agak bulat ini, sering digunakan sebagai aroma penyedap saat memasak, aroma wanginya sangat kuat ketika dihancurkan atau diremukan. “ Waktu dulu, mama dong (mereka) masak ikan kuah pake ini saja”, kata lelaki asal Kampung Mlaswat tersebut. Menurut Tono Woloin, saat memasak sesuatu yang berkuah seperti ikan sebenarnya tanpa menggunakan rempah-rempah lain dapat menggunakan daun Yorban.
Bagi Masyarakat Adat Knasaimos, tidak ada pantangan saat mengkonsumsi tumbuh liar satu ini. Baik orang muda atau lanjut usia, daun Yorban sangat menolong ditengah ruang lingkup yang masih minim akses baik sarana dan prasarana. Tono Woloin pun juga mengutarakan isi hatinya, lantaran pengetahuan akan pengobatan tradisional ini mulai redup dikalangan pemuda kampung. Hal ini dipengaruhi oleh kesenjangan social seperti pengaruh digitalisasi dan juga komunikasi dalam keluarga. Tono mengungkapkan bahwa, “Anak-anak tidak bertanya, kami juga orang tua tidak bercerita jadi terputus sampai di tono tong (kami)”.
“Saya bersyukur bisa menyaksikan secara langsung orang tua dulu memanfaatkan tanaman di hutan menjadi obat. Karna dari akar kayu, kulit, tali, daun sampai tanah bisa membawa saya yang tinggal di kampung pergi ke Bali”, tutupnya.