Pada awal tahun 2019, kita di Papua Barat dikejutkan dengan pengumuman KLHK bahwa Kota Sorong masuk dalam daftar kota terkotor untuk kategori kota sedang dan Waisai masuk dalam kota terkotor untuk kategori kota kecil. Sungguh ironis mengingat pada Oktober 2018 Provinsi Papua Barat baru saja mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Berkelanjutan, yang tentu saja bukan semata-mata soal menjaga hutan dan melindungi keanekaragaman hayati di Tanah Papua. Bagi Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Raja Ampat sendiri, gelar tersebut seolah mencederai nama baik kabupaten yang telah dikenal sebagai destinasi wisata International karena keindahan alam dan wisata baharinya.
Empat belas tahun setelah pencanangan Hari Peduli Sampah Nasional pada 2005, banyak upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, berbagai kegiatan bersih-bersih sampah terus digalakkan, namun fakta tentang produksi sampah kita dari tahun ke tahun tak juga menunjukkan adanya penurunan angka. Pada tahun 2018, KLHK menyebutkan bahwa produksi sampah nasional mencapai sekitar 65,8 juta ton pertahunnya di mana 16 persennya adalah sampah plastik, yang pada tahun 2011 sampah plastik hanya menyumbang 11 persen dari total sampah. Diperkirakan bahwa produksi sampah plastik meningkat setiap tahunnya.
Di sisi lain, data KLHK (2008) menyebutkan bahwa sampah yang dihasilkan di Indonesia masih didominasi oleh sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga memilliki presentase 44,5 % dari total sampah di Indonesia. Statistik Lingkungan Hidup (2018) memberi informasi bahwa sebagian besar sampah yang diproduksi di perkotaan adalah sampah organik yang berasal dari pemukiman. Berdasarkan data-data ini, banyak komponen kemudian bergerak memerangi sampah dari level keluarga.
Gerakan ini mengajak warga khususnya perempuan untuk mendaur ulang sampah menjadi material lain yang bernilai ekonomis serta mengembangkan bank sampah. Namun daur ulang saja tidak cukup. Tekanan konsumsi dan pemenuhan kebutuhan menyebabkan produksi sampah terus meningkat. Sekuat apapun masyarakat berusaha melakukan diet plastik, jika produk dan kemasan berbagai kebutuhan masih berupa bahan sekali pakai (non durable dan non reusable), maka berperang melawan sampah khususnya sampah plastik ibarat pungguk merindukan bulan.
Kembali pada Provinsi Berkelanjutan, diharapkan ada kebijakan khusus terkait sampah yang dapat segera didorong dan berkontribusi pada pencapaian tujuan Sustainable Development Goals yaitu responsible production and consumption. Kebijakan tersebut tentunya tidak semata-mata pada persoalan menangani sampah yang sudah diproduksi akibat konsumsi, tetapi juga tentang upaya menghasilkan produk yang ramah lingkungan, adil bagi masyarakat dan lingkungan.*)
Penulis : Nurhani Widiastuti