Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) memiliki topografi pegunungan dengan ketinggian berkisar 800-3.000 meter di atas permukaan laut yang sangat cocok untuk tanaman dataran tinggi. Populasi tanaman yang dominan di kabupaten ini meliputi wortel, daun bawang, kubis, bawang merah, umbi-umbian dan tanaman kopi yang ditanam oleh petani setempat. Iklim yang mendukung tanaman kopi tersebut kemudian terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh petani atau masyarakat secara berkelompok maupun secara individu.
Meski masih dalam skala produksi sederhana/kecil yang berbasis masyarakat setempat, petani kopi Anggi dan Minyambouw asal dataran Kabupaten Pegunungan Arfak terus giat membuka lahan untuk pertanian kopi. Melihat peluang kopi tersebut, hal itu memantik semangat dan tekad Edi Iryow untuk mencoba bertani kopi. Tahun 2024 menjadi titik tolak pemuda asal Desa Tuabyam, Distrik Anggi Gida ini untuk mencuri start dalam bertani kopi. “Saya lihat ada teman di sebelah rumah yang berjualan kopi dan sudah dapat hasil jadi, saya pun jadi ingin mencoba,” tutur Edi saat duduk bersama Tim Bentara Papua di depan gedung baru.
Sebagai pemula, ia mencoba meminta bantuan petani lain untuk mendukung langkah awal mencocokkan tanam kopi dengan cara mendapatkan bibit dari Bapak Matias Iryow dan Andarias Iryow. Untuk menyemai bibit kopi yang didapatnya, lanjut Edi. Ia pun harus membeli polybag dengan menggunakan uang sakunya, "Kertasnya saya beli di Wasuai," ungkapnya. Hasil bibit yang diperoleh Edi sekitar 50 polibag dan hanya beberapa yang berhasil ditanam. Sayangnya, pemuda asal Desa Tuabyam ini minim pendidikan dalam hal menanam dan merawat tanaman kopi. “Saya tidak tahu cara menanam dan merawat kopi, saya menanam asal-asalan saja,” jawab Edi sambil menundukkan kepala karena malu.
Edi Iryow sedang bersihkan bibit kopi yang ia semai
Bibit kopi arabika yang ditanam sebagian tidak tumbuh dengan baik. Namun, hal itu tidak menghalangi Edi untuk tetap semangat cocok menanam kopi. Berbekal ponsel android, Edi mengaku banyak menonton konten-konten terkait kopi, baik tentang pembibitan, penanaman, maupun perawatan. Edi melanjutkan, "Saya hanya mengikuti apa yang ada di video." Atas inisiatif Edi Iryow, pemuda lulusan SMA Yapis Manokwari ini mencoba membuat persemaian sederhana dengan memanfaatkan sisa potongan kayu hingga membentuk persegi panjang dengan ukuran panjang sekitar 1 m dan lebar 50 cm. Dalam persemaian tersebut, Edi meletakkan bibit kopinya sebelum ditanam. Edi mengaku sudah menyiapkan lahan yang lebih luas namun belum menanam kopi, saat ini ia hanya fokus menanam di area pekarangan rumah. Ia berkata, "Saat ini saya hanya menanam di samping rumah". Kopi yang sudah ditanam belum bisa dipanen, selain usia kopi yang masih kecil, juga ada serangan hama, dan tempat menanam kopi yang salah (dekat saluran air).
Harapannya, sebagai seorang pemula, Edi menginginkan pendampingan, namun ia mengaku belum mendapat kontak langsung dari pemerhati atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) mana pun. “Saya belum pernah didampingi Bentara,” jelas Edi, ia pun baru mengenal Bentara Papua pertama kali pada Juni 2024, saat ayahnya mengajaknya berkegiatan di Stasiun Udohotma dalam proyek Evaluasi Efektivitas Organisasi (OE) bersama masyarakat binaan Bentara di kawasan Pegunungan Arfak. Saat ini, tanaman kopi milik Edi belum menghasilkan hasil seperti yang diimpikannya, karena keterbatasan ilmu dan media pendukung untuk mewujudkan produksi kopi yang baik. Oleh karena itu, dengan hadirnya Bentara Papua saat melakukan Forum Group Discussion (FGD), pemuda asal Kampung Tuabyam ini berharap adanya pelatihan dan pendampingan yang intensif agar apa yang diimpikan Edi dan petani kopi lainnya juga dapat terwujud. Sebab jika dicermati, kemajuan pembangunan daerah Pegaf dan peningkatan nilai ekonomi khususnya kopi semakin masif, sehingga petani kopi lokal Anggi dan Minyambouw patut mendapat perhatian serius.