Bekerja dengan Kami
CERITA
Tete Suling, Tetua yang Menjaga Kesenian Suling Tambur di Kampung Solol
14 December 2022 - oleh Admin

Siang itu, udara bulan Oktober cukup gerah di Kampung Solol. Di dalam ruangan balai kampung, sekumpulan kecil lelaki duduk mengikuti formasi setengah lingkaran. Mereka memegang gitar, jukulele dan stembas. Di samping deretan ini, duduk pula empat orang perempuan sembari memegang selembar kertas. Sedikit terpisah dari barisan ini, di belakangnya, seorang tua berkulit legam dan berbadan gempal duduk. Seorang tua dengan suling di tangannya.

 

Grup musik ini berencana membuat rekaman lagu. Mereka akan mendaftarkan karyanya ke ajang Papua Green Sound and Culture (PGSC). PGSC merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan Perkumpulan Bentara Papua sebagai ruang menyuarakan kepedulian dan kecintaan terhadap alam, budaya dan masyarakat adat di Tanah Papua. Tahun 2022 adalah pagelaran ketiga PGSC.

 

Grup musik ini sesungguhnya dadakan. Mereka baru dibentuk dan menamakan dirinya Grup Tepin. Namun karena terbiasa terlibat di kegiatan-kegiatan ruhani gereja, tidak butuh waktu lama untuk menciptakan harmoni musik dan vokal. Pemimpin grup ini adalah bapak muda bernama Lazarus, yang juga merupakan pencipta lagu “Lestarikan Alam”.

 

Tak berapa lama berselang, irama gitar, jukulele serta stembas mulai bergema. Suara vocal yang berpadu mulai terdengar. Seorang tua itu hanya menatap lantai. Jemari kaki kanannya bergerak naik turun mengikuti irama musik. Ketika tiba gilirannya, ia meniup suling dengan tenang. Beberapa kali sempat tersendat tapi itu tidak mengubah fokusnya. Ketika jeda dan mendapat pengarahan dari pemimpin grup, orang tua ini hanya mengangguk-angguk tanpa bicara.

 

Suara suling yang ditiupnya memberi dimensi yang lebih syahdu kedalam Lestarikan Alam yang menyuarakan ucapan syukur pada Tuhan atas anugerahnya kepada Tanah Papua.

 

Funa…Funa..Funa..Funa..Fun nehmol papua cut ni kayamo.

(Tuhan..Tuhan..Tuhan..Tuhan..Tuhan menciptakan Papua dengan kekayaannya)

 

***

Orang tua peniup suling dikenal dengan Tete Suling. Aslinya bermarga Dimara.

 

Beliau dipanggil Tete Suling karena orang tua satu-satunya di Kampung Solol yang masih aktif meniup suling. Ketrampilan ini memang bukan miliknya seorang. Ada beberapa warga Solol yang bisa meniup suling, termasuk anak lelakinya yang menjadi pemimpin grup musik itu.

 

“Sebelumnya saya adalah pemain tambur. Karena itu saya lebih mudah mengenali pukulan tambur yang salah ketika meniup suling,” ujar beliau.

 

Perbedaannya karena Tete Suling adalah peniup suling yang spesial. Beliau mampu menghafal sampai 25 lagu. Beliau juga memiliki nafas yang kuat serta kemampuan membaca not—kemampuan yang jarang dimiliki.

 

Pada acara Rainforest Festival (21-29 Oktober 2019) yang dipusatkan Bentara Papua di Stasiun Solol, beliau meniup suling dalam penjemputan para delegasi yang datang dari luar. Sama halnya pada saat penjemputan Wakil Bupati Kabupaten Raja Ampat yang menghadiri kegiatan di gereja Ebenhaezer, Solol belum lama berselang.

 

Beliau harus meniup suling sepanjang perjalanan dari dermaga kampung hingga ke stasiun. Perjalanan sejauh 800an meter. Dengan umur yang tak lagi muda, hanya peniup suling dengan level maestro yang bisa melakukannya dengan stabil.

 

Bagaimana ketrampilan Tete Suling  meniup alat musik yang evolusinya sudah dimulai sejak zaman Neanderthal dibentuk?

 

Tete Barnabas Sawoy, seorang tetua Kampung Solol yang lain, menceritakan bahwa kesenian Suling dan Tambur diajarkan Guru Pattiwael, yang berasal dari Maluku. Karena itu kesenian ini identik dengan keberadaan gereja, Kesenian dari Maluku ini memang tidak sebatas berkembang di Solol. Di pesisir Papua Barat yang menjadi wilayah penginjilan, suling dan tambur cukup berkembang.

 

Suling dan Tambur hanya ditampilkan pada perayaan-perayaan hari besar, seperti Natal atau ulang tahun Pekabaran Injil. Selain ditampilkan pada saat penjemputan tamu yang berkunjung. Karena itu kesenian ini mewakili ungkapan kegembiraan, bukan kesedihan seperti pada saat kematian.

 

“Salah satu dari anak muridnya adalah kakak sepupu Tete Suling,” terang Tete Barnabas yang juga masih kerabat Tete Suling. Keterangan ini senada dengan cerita Tete Suling sendiri. 

 

“Saya belajar dari kakak. Pengajarannya keras tapi saya tetap tabah. Saya percaya, karena ada nasihat yang bilang di ujung rotan guru terdapat emas. Sekarang di ujung suling ada emas buat saya.”

 

Emas itu bukanlah dalam bentuk imbalan material. Tete Suling tidak menjadi seorang yang kaya dengan meniup suling dimana-mana lantas dibayar karenanya. Meniup suling memang telah membawa dirinya ke kampung-kampung yang jauh, terutama ketika ada kegiatan gereja. Akan tetapi “emas” yang dimaksud lebih bermakna penghormatan pada ketrampilan. Dan lebih besar dari itu adalah kepada peranan beliau dalam merawat kesenian suling tambur di Kampung Solol.

 

Grizon Krey, salah satu anak muda Solol, berani bertaruh jika yang seperti Tete Suling hanya tersisa di Kampung Solol. “Saya sudah pergi ke kampung-kampung di sekitar Pulau Salawati, tapi rasanya hanya Tete Suling yang terbaik. Tak ada yang seperti beliau.”

 

Tidak berlebihan jika Tete Suling bisa disebut sebagai seorang tua yang menjaga kesenian tradisi hingga hari ini. Tidak banyak orang yang bisa bertahan sejauh ini. Tete Suling barangkali adalah suling itu sendiri.

 

Dalam kebudayaan Jepang, Tete Suling mewakili peran seorang Meijin. Meijin adalah seorang narasumber sepuh yang sepanjang hidupnya menjaga tradisi tertentu di masyarakat yang berhubungan dengan praktik-praktik baik untuk merawat kehidupan.   

 

***

“Saya tidak bisa diam di kampung. Saya harus jalan-jalan. Walaupun tidak bekerja,” terang Tete Suling ketika ditanya apa rahasianya bisa hidup sehat sampai sekarang ini.

 

Sehari-harinya Tete Suling menghabiskan waktu dengan berkebun atau pergi melaut. Jika tidak, beliau bisa ikut serta dengan rombongan orang kampung yang pergi bekerja. Di kebunnya, beliau menanam kelapa, durian, dan pinang. Hanya jenis tanaman jangka panjang.

 

Beliau sehari-hari senang suka berkelakar. Pergaulannya dengan anak-anak muda juga terasa tidak berjarak. Banyak anak-anak muda sangat menghormatinya.

 

Tahun 2022 ini, beliau genap berumur 74 tahun. Pada 13 November 1948, beliau dilahirkan. Panjang umur dan selalu sehat, Tete Suling.

Cerita Lainnya

Dapatkan Informasi dan Update Terbaru dari Kami

Rumah Bentara Papua
Jalan Asrama Jayapura, Manggoapi Dalam, Angkasa Mulyono-Amban Manokwari - Papua Barat Indonesia, 98314

Foto dan gambar ©Bentara Papua atau digunakan dengan izin.
© Bentara Papua. All Rights Reserved

Web Design by SOLV