Bekerja dengan Kami
CERITA
Mimpi Kampung Solol di Tengah Geliat Wisata Raja Ampat
19 December 2023 - oleh Admin

Ketika mengunjungi Kampung Solol, kita akan menjumpai perkampungan yang tenang di pintu masuk laut Kepala Burung.

 

Kampung Solol memang berada pinggir Selat Sagawin, yang berhadapan dengan pulau Batanta. Di waktu tertentu, kita bisa melihat kapal putih—kapal penumpang besar seperti KM. Umsini misalnya, melintas. Atau kapal-kapal pencari ikan dengan kerlap-kerlip lampu seolah-olah kunang-kunang di lautan.

 

Kampung Solol terletak di sebuah teluk kecil (bay) yang berada di antara dua tanjung, yakni Tanjung Frongket di sebelah Timur dan Selewket di bagian Barat. Secara geografis, koordinatnya terletak pada kuadran 130° 48' 2,006" dan 130° 55' 16,616" Bujur Timur (BT) serta 0° 53' 18,099" dan 0° 57' 40,277" Lintang Selatan (LS).

 

Pesisir lautnya masih bersih dengan hamparan pasir yang lembut, terutama di bagian sebelah Barat. Sedang perkampungannya membentuk bujur sangkar besar dengan kebanyakan rumah yang sudah terbuat dari bahan semen dengan gereja yang berada di tengah-tengah.

 

Di dalam perkampungan ini, kita bakal menjumpai deretan pohon pinang yang tumbuh hampir di seluruh pekarangan warga yang sehari-hari berkebun atau menjadi nelayan tangkap tradisional.

 

“Di masa lalu, pinang pernah menjadi oleh-oleh dari Solol, selain buah-buahan,” cerita seorang warga. Pinang Solol adalah cinderamata, bagi mereka yang datang dari kampung-kampung yang bertetangga di pulau Salawati atau pulau Batanta. Sekarang tidak lagi.

 

Masa lalu Solol juga dibentuk dari cerita tentang pertukaran komoditas antar kampung. Saat itu, bahkan hingga memasuki tahun 90an, warga Solol masih belum memiliki dusun sagu sendiri. Mereka bergantung pada sistem barter yang mempertemukan penduduk di wilayah Barat dan Selatan, Kepulauan Raja Ampat.

 

Dengan pertukaran ini, orang-orang Solol membawa hasil kebun dan hasil laut. Dari sana, mereka membawa pulang sagu dan anakan yang bisa ditanam hingga akhirnya memiliki dusun sagu sendiri. Sekarang, warga Solol tidak lagi menjalani barter untuk memenuhi kebutuhan akan pangan.

 

Selain “krisis sagu”, pada suatu masa di sekitar Perang Pasifik (1937-1945), Jepang pernah membuat hunian di Solol. Hunian tersebut dijaga seorang Jerman yang dikenal dengan Tuan Dezh. Hunian Tuan Dezh adalah satelit Jepang dalam mengawasi ketegangan politik di sekitar Papua dan Maluku. Pengaruh Jepang memang tidak banyak membekas di Solol dibandingkan kedatangan penyebaran Injil yang sudah dimulai sejak tahun 1912.

 

Karena itu, dengan semua perlintasan arus sejarah itu, Kampung Solol adalah perkampungan pesisir yang terbiasa dengan perjumpaan dan keterbukaan. Salah satu kampung tertua di pesisir Salawati Barat ini juga memiliki pengalaman melewati krisis pangan.

 

Sekarang ini, Kampung Solol hidup di tengah-tengah visi pariwisata Raja Ampat yang sudah mendunia. Tetangganya, Pulau Batanta, adalah salah satu destinasi yang rajin dikunjungi. Apalagi jika kita membicarakan Waisai yang merupakan destinasi utama di Raja Ampat. Sesungguhnya, pariwasata adalah macana mayor yang menghidupi pembangunan di Papua Barat, tak semata-mata di Raja Ampat.

 

Tapi Solol yang juga bertetangga wilayah dengan Cagar Alam Salawati Utara, tidak melihat dirinya dalam wacana mayor di atas. Di Solol, setidaknya hingga tahun 2022, kita tidak menjumpai homestay yang dibangun pemerintah. Atau kita menemukan kawasan khusus yang diperuntukan sebagai spot penyelaman.

 

Kekayaan alam dari kampung yang penduduknya berjumlah sekitar 400-an jiwa (2021) ini lebih banyak bergantung pada pengelolaan kebun, selain melaut untuk sekadar memenuhi kebutuhan rumah tangga.

 

Karena itu, ada mimpi menjadi penyangga kawasan pariwisata inti. Grizon Krey, salah satu pemuda kampung Solol yang juga menjadi pengorganisir Bentara Papua mengatakan jika Kampung Solol berpeluang menjadi produsen komoditas dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia. Proses ini sedang dimulai pelan-pelan.

 

Salah satunya dengan mendayagunakan keberadaan stasiun Bentara Papua. Perwujudannya dimulai dengan mengolah kelapa dan pisang yang merupakan tanaman utama di perkampungan. Hasilnya berupa minyak kelapa, VCO, sabun mandi dan tepung pisang juga sudah mulai dipromosikan ke setiap resort yang ada di wilayah pariwisata. Selain juga didistribusikan ke Kota Sorong dan dibawa ke Manokwari melalui koperasi Bekal.

 

Yang penting juga digarisbawahi adalah rangkaian kegiatan produksi komoditas berbasis sumberdaya tempatan ini melibatkan kaum perempuan atau mama-mama. Dan juga melibatkan para pemuda. Sehari-hari, mereka berkumpul dan membuat olahan dari pisang dan kelapa.

 

Sejauh ini, dampak yang mulai terasa adalah produksi olahan dari kelapa dan pisang dari Solol ini mulai dikenal oleh penduduk di kampung-kampung yang berdekatan, seperti Weibon, Weidim dan Kalyam. Pemerintah Kabupaten juga mengapresiasi usaha ini dan mendukung dalam bantuan permodalan bagi mama-mama yang terlibat.

 

Pembelajaran dan praktik sukses yang dikerjakan bersama-sama di stasiun Bentara Papua kini juga tengah diperluas ke kampung-kampung sekitar. Salah satunya juga bekerjasama dengan pihak gereja dan pemerintah kampung tetangga lewat pelatihan-pelatihan.

 

 

Tantangan. Ke depannya, selain menjaga konsistensi dalam jumlah produksi dan kualitas mutunya, cita-cita menjadi kampung penyangga pariwisata membutuhkan dukungan regulasi dan kelembagaan di tingkat antar kampung. Khususnya dalam mendayagunakan fungsi Budan Usaha Milik Kampung (BUMKam) sebagai penampung dan distributor produk olahan. Di saat yang bersamaan, pemerintah daerah berperan dengan mendorong instansi terkait, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, terlibat aktif dalam usaha-usaha pendampingan dan pemasaran produk-produk yang dikerjakan oleh kaum perempuan dan para pemuda di Solol.

 

Tentu saja, Solol adalah permulaan. Para pihak terkait, baik pemerintah kampung, pemerintah daerah, penguasaha pariwisata dan Bentara Papua, memang semestinya mengembangkan skema kolaboratif yang basisnya territorial dan sumberdaya tempatan.

 

Dengan begitu, kiranya, kampung-kampung yang memiliki visi non-pariwisata bisa tetap menjadi pemain, bukan penonton di tengah gemerlapnya pariwisata Raja Ampat.

Cerita Lainnya

Dapatkan Informasi dan Update Terbaru dari Kami

Rumah Bentara Papua
Jalan Asrama Jayapura, Manggoapi Dalam, Angkasa Mulyono-Amban Manokwari - Papua Barat Indonesia, 98314

Foto dan gambar ©Bentara Papua atau digunakan dengan izin.
© Bentara Papua. All Rights Reserved

Web Design by SOLV