HILANGKAN KEBIASAAN GUNAKAN PUPUK KIMIA, PETANI LOKAL TERAPKAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
HILANGKAN KEBIASAAN GUNAKAN PUPUK KIMIA, PETANI LOKAL TERAPKAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
Pola pertanian petani lokal Kabupaten Pegunungan Arfak yang tersebar di beberapa kampung mengungkapkan kebiasaan bertani mereka mengikuti nenek moyang secara turun-temurun berbasis tradisional. Umumnya, sebagian besar petani ini memiliki dua lokasi kebun berbeda yakni di pekarangan rumah tetapi juga di hutan (jauh dari rumah). Namun siapa sangka, sebagian cara atau perawatan kebun secara tradisonal mulai hilang terkisis perkembangan zaman, hal ini pun mencakup pupuk yang digunakan. Beberapa orang petani lokal mengakui sempat menggantungkan nasib kebun mereka pada “Toko”. Pertanyaannya kenapa harus Toko? ya, karena dari Tokolah para petani membeli pupuk kimia dan bibit tanaman keperluan mereka. Terbatasnya pengetahun untuk membuat pupuk secara mandiri membuat tanaman yang ditanam oleh mereka seperti wortel, kentang, bawang merah, bawang putih, daun bawang, kol, stroberi dan umbi-umbian bersandar pada pupuk kimia. Kaka Amida Lougb salah satu petani lokal perempuan di Kampung Pamaha mengungkapkan, para petani telah menggunakan pupuk berbahan kimia dalam kurung waktu lama untuk menyuburkan tanaman. Dengan rauk muka yang menunduk menurut Kaka Amida, jika tanaman tidak menggunakan pupuk kimia hasil panen akan buruk (tidak memuaskan) “Kami beli bibit dari toko, jadi harus semprot dengan pupuk kimia,” jelasnya. Kebiasaan menggunakan pupuk berbahan kimia mulai berubah setelah Bentara Papua melakukan pendampingan pertanian kepada masyarakat sejak 2021. "Mereka dari Bentara ajarkan kami untuk tidak pake pupuk obat atau pupuk kimia," Ungkap Kaka Amida. Pendampingan yang dilakukan termuat dalam bentuk pelatihan pembuatan pupuk organik (POC dan Pesnap), pembibitan tanaman dan kebun percontohan. Perempuan asal Kampung Pamaha ini menambahkan, edukasi yang didapat para petani lokal ini memberi pengetahuan bagi mereka secara pribadi dan kelompok bahwa ada perbedaan saat menggunakan pupuk kimia dan organik."Jadi kami buat pupuk (organik) sendiri juga," ujarnya.
Proses Wawancara Kaka Amida Lougb di Kampung Kostera
Secara pribadi menurut Kaka Amida, pengalaman mengkonsumsi hasil kebun yang menggunakan pupuk kimia membuat ia mengalami sakit tulang dan hal ini berbanding terbalik saat ia mengkonsumsi sayuran serta buah-buahan yang menggunakan pupuk organik. Selain menyehatkan, pupuk organik juga membuat hasil kebun jauh lebih tahan lama atau tidak cepat membusuk. Ada perbandingan yang dibuat Kaka Amida terhadap tanaman ber pupuk organik dan kimia dimana, saat melakukan penjualan di kota tanaman berpupuk kimia tidak dapat bertahan lebih dari satu minggu (paling lama 3-4 hari) sementara tanaman berpupuk organik dapat bertahan tiga minggu sampai satu bulan, "kami cuci lalu taruh dalam kulkas bisa bertahan lama dan jual lagi," kata dia.
Tidak hanya Kaka Amida yang merasakan hal positif menggunakan pupuk organik, ada juga Bapak Hans Saiba petani lokal dari Kampung Hungku. Cerita Bapak Hans hampir serupa dengan cerita Kaka Amida terkait dampak positif yang dirasakan saat meninggalkan pupuk kimia dan memulai dengan pupuk organik. Kata Bapak Hans, tanaman yang di tanaman dan menggunakan pupuk organik dapat dimakan secara langsung, "Ada tanaman yang bisa ambil, cuci bersih langsung makan," Sambung dia. Sebagai seseorang yang sudah lama menekuni dunia pertanian, Bapak Hans pun dapat membedakan tanaman yang menggunakan pupuk kimia dan organik melalui aroma masakan. Sambung Bapa Hans "Kalo masak itu nanti bau obat su bisa cium". Aroma obat-obatan keluar dan akan tercium kuat saat sedang memasak. Disisi lain, Pengeluaran biaya perawatan kebun mereka pun mulai berkurang, dikarenakan para petani sudah tidak membeli pupuk di kota melainkan membuatnya secara mandiri dan kadang pun masih perlu didampingi tim Bentara Papua. Bagi Bapak Hans, sisa rumput yang ia bersihkan dikebun miliknya itulah yang kemudian akan diolah menjadi pupuk. "Rumput ini cabut trus hambur saja di tanaman, bisa juga campur dengan tanah baru taruh di tanaman,' jelas pria paru bayah ini.
Ada juga petani asal Kampung Kostera yakni Bapak Yonas Ahoren yang menceritakan sudah tidak membeli bibit, khususnya bibit tanaman wortel. Saat Tim Bentara Papua berkunjung ke rumah miliknya, Bapak yang sudah berumur lansia ini mengajak kami untuk dapat secara langsung melihat kebun wortel miliknya yang berada persis di samping pekarangan rumahnya. Pekarangan yang kira-kira memiliki luasan petak berkisar 15x8 m, ini dipenuhi tanaman wortel, "Bapak ini dulu turun jual hasil wortel, trus beli bibit di kota," kata dia sambil menunjuk kebun wortel ini. Kebiasaan membeli bibit wortel ini pada akhirnya pun sudah tidak dilanjutkan lagi karena ia dan sebagian besar petani lokal telah mendapat pengalaman baru yang baik dalam membudidayakan bibit wortel. Bapak Yonas pun mempraktekan cara budidaya bibit wortel, diikuti dengan penjelasan sederhana "Kalau panen, kasi tinggal berapa buah trus nanti patah jadi dua, baru tanam kembali yang ada daun," tuturnya. Ketika wortel tersebut sudah tumbuh dan berbunga maka akan diambil biji kemudian dijadikan bibit, proses sederhana inilah yang sudah diterapkan para petani. Bagi Bapak Yohas, hasil yang di dapat dari bibit buatan sendiri pun tak kalah dengan bibit dari toko. Senada dengan Bapak Yonas, Kaka Amida juga mengakui tidak tahu menau dari mana asal bibit wortel ini. “Kami dulu belum tahu bibit wortel ini asalnya dari mana, jadi kami beli di toko”. Bagi petani asal Pamaha ini, pembibitan yang diterapkan ini jauh lebih efektif dibandingkan harus membeli sebungkus bibit wortel di kota."Uang sudah keluar banyak bayar mobil, kalo beli bibit dan pupuk lagi tambah banyak", tutupnya.