Manokwari(12/2/2020),- Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Dr.Jonni Marwa,S.Hut,M.Si mengatakan, Pemerintah Pusat dan daerah gagal mengelola akses yang diberikan Presiden Joko Widodo terkait akses kelola masyarakat adat terhadap hutan adat,padahal sudah diberikan dari tahun 2016.
Pernyataan itu disampaikan Jonni Marwa saat memaparkan hasil kajiannya dalam seminar Kebijakan dan Tata Kelola Kehutanan di Papua Barat,yang dibuat WRI (World Resources Institut ) Papua, di Manokwari, Rabu(12/2/2020).
Padahal,kata Jonni, syaratnya sangat mudah, hanya tiga yaitu terdapat masyarakat adat atau pemilik hak ulayat yang diakui pemerintah daerah dengan produk hukum daerah, kemudian terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan dan surat pernyataan masyarakat adat menyetujui wilayah adatnya menjadi hutan adat. ( Prosedur pengurusan hutan adat dapat dilihat pada link https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/05/P21-Tahun-2019-tentang-Hutan-Adat-dan-Hutan-Hak.pdf.
Kegagalan pemerintah pusat itu, sambung Jonni Marwa, terkait kewenangan menetapkan Undang-Undangan Masyarakat Hukum Adat dan produk hukum lainnya, sementara Pemerintah daerah dalam hal menginisiasi Peraturan Daerah Masyarakat Hukum Adat di daerah sesuai kewenangan dalam Permendagri 52 Tahun 2014, sambil menunggu perdasus Masyarakat hukum Adat untuk implementasi.
“Yang penting ada pengakuan dan perlindungan dulu dari pemerintah daerah. Tapi, pertanyaannya sudah berapa produk hukum daerah yang dihasilkan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat (Papua)? setahu saya di Papua Barat baru tiga kabupaten,yaitu Tamrauw, Bintuni dan Malamoi(Sorong). Ya, saya pikir ini perlu diseriusi lagi oleh Pemerintah,” tandas Dekan Fakultas Kehutanan Unipa ini.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta seminar, Dr.Sepus Fatem,S.Hut,M.Sc menambahkan, bahwa bicara tentang orang Papua, itu tidak terlepas dari hutan dan adatnya. Tapi tidak ada skema perhutanan sosial di Papua yang dilegitimasi oleh negara.
“Pokja Perhutanan Sosial juga hanya berorientasi pada situasi pra kondisi target luasan, tapi paska itu tidak ada. Disisi lain, belum ada skema hutan adat di Papua yang jelas. Di sisi lain, kita bilang tanah dan hutan adat milik orang Papua, tapi dalam skema perhutanan sosial memaksa masyarakat mengakui bahwa tanah ini milik negara. Kalau ada orang Pokja Perhutanan Sosial yang mau menyangga pernyataan saya ini silakan,” tandas Sepus Fatem yang juga dosen di Fakultas Kehutanan Unipa.
Menanggapi pernyataan ini, Koordinator Koalisi CSO Papua Barat, Esau Yaung mengatakan bahwa terkait hutan adat ini tidak sepenuhnya kegagalan pemerintah daerah, karena regulasi sistem pengelolaan hutan sepenuhnya wewenang pemerintah pusat.
“Misalnya penetapan hutan adat, kewenangannya ada di Pemerintah Pusat. Sistem silvikultur yang digunakan untuk kelola hutan papua juga sama diatur dari pusat. Dengan adanya status otonomi khusus misalnya, harusnya ada kebijakan di bidang kehutanan bagi Tanah Papua,” jelasnya.
Persoalan terkait perhutanan sosial juga pernah diutarakan Dahniar Andriani dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), pada Pertemuan Strategis Pemangku Kepentingan: Memperkuat Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mendukung Pencapaian Target NDC Indonesia, di Hotel Century Park Jakarta, April 2019 lalu. (http://bentarapapua.org/page/press_detail/111)
“Kita jungkir balik juga tidak akan menyelesaikan persoalan di tingkat tapak, kalau tumpang tindih aturan belum dibereskan Pemerintah. Contoh bicara tentang hukum masyarakat adat,lihat ada berapa instrument perundangan yang ada di negara ini?,” Tanya Dahniar.
Sehingga Dahniar berharap Presiden RI terpilih nanti bisa lebih serius untuk melihat persoalan ini. Kalau ingin perhutanan sosial dijalankan dengan baik dan memberikan dampak yang besar bagi pencapaian NDC 2030, mari seriusi, jangan cuma jadikan perhutanan sosial sebagai aksesoris.*)
Ditulis oleh : Ab Yomo untuk bentarapapua.org